HomeNasionalSuara Anti Sawit Suku Yaben dari Belantara Hutan Sorong Selatan

Suara Anti Sawit Suku Yaben dari Belantara Hutan Sorong Selatan

Published on

spot_img


Sorong Selatan, CNN Indonesia

Terik matahari di langit relatif tanpa polusi membuat panorama tempat hidup Suku Yaben di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan jelas terlihat.

Hijau hutan yang lestari. Laut pun begitu bersih hingga sempurna menjadi cermin langit biru saat CNNIndonesia.com datang akhir Juli lalu.

Kampung Yaben Simora sepi di siang itu. Masyarakat mungkin sedang berburu atau mencari sagu di hutan.

Kampung Yaben Simora terletak di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Wilayahnya berupa hutan, hutan gambut, dan laut. Suku Yaben yang terdiri dari subsuku Simora, Demen dan Onipia menghuni kawasan ini.

Kapitalisme mungkin saja tidak terasa di sini. Kebutuhan sehari-hari diperoleh dari alam dengan gratis. Tanpa serakah, tanpa berlebihan. Bijak bestari masyarakat adat menjaga hutan tempat hidupnya agar selalu lestari.




Akses menuju Kampung Konda, Distrik Konda, Sorong Selatan, Papua Barat Daya dikelilingi hutan gambut yang masih terjaga kelestariannya Akses menuju Kampung Konda, Distrik Konda, Sorong Selatan, Papua Barat Daya dikelilingi hutan gambut yang masih terjaga kelestariannya (CNN Indonesia/ Bimo Wiwoho)

Tetua Adat Suku Yaben, Yohanis Mabruaru bersyukur hutan tempat tinggalnya kaya dengan sumber daya alam. Dia mengatakan semua yang terkandung di hutan cukup menghidupi kebutuhan masyarakat sehari-hari.

“Sumber kehidupan kami dari hutan dan laut. Kita makan sagu sehari hari. Gratis dari hutan. Babi dan rusa juga. Semua yang bisa dimakan kita makan,” ucap Yohanis saat ditemui CNNIndonesia.com di Kampung Yaben Simora akhir Juli lalu.

Ini kecuali biawak dan ular. Suku Yaben, jika memakan hewan tersebut, harus membayar denda kepada Suku Tehit yang punya pantangan mengonsumsi dua reptil itu. Apabila tidak membayar denda, maka Suku Yaben yang mengonsumsi biawak dan ular harus dibunuh.

Selain sagu, ada buah-buahan seperti langsat, cempedak dan durian yang bisa warga nikmati. Baik untuk dikonsumsi maupun dijual. Kayu juga mereka manfaatkan untuk membangun rumah, membuat perahu atau dijual.

Tanah yang mengandung pasir pun kadang dimanfaatkan warga untuk dijual kala membutuhkan uang. Semuanya dilakukan secara manual dan seperlunya saja.

Masyarakat Suku Yaben juga memperoleh ikan dan udang dari laut yang kaya berkat mangrove dan hutan gambut yang masih terjaga kelestariannya.




Tokoh adat Suku Yaben, Yohanis Mabruaru saat ditemui di Distrik Konda, Papua Barat Daya, Kamis (27/7/2023) Tokoh adat Suku Yaben, Yohanis Mabruaru saat ditemui di Distrik Konda, Papua Barat Daya, Kamis (27/7/2023) (CNN Indonesia/ Bimo Wiwoho)

Menolak Sawit

Yohanis, selaku tokoh adat yang sudah berumur, paham betul manfaat hutan bagi hidupnya dan keturunannya nanti. Pria yang kini berusia 72 tahun itu ingin ruang hidup yang ada sekarang tetap terjaga agar anak cucu bisa terus melangsungkan hidupnya.

Yohanis tidak mau hutan di wilayah suku Yaben menjadi perkebunan sawit. Dia sudah tahu masalah-masalah yang muncul berkat cerita dari warga adat daerah tetangga tepatnya di Distrik Kais.

“Kita punya kehidupan di sini. Harus kita jaga. hutan tempat kita hidup. Anak muda harus tahu. Di sini saya yang paling berbicara keras,” kata Yohanis.

Yohanis mengatakan warga di distrik tetangga kini sulit mencari makan karena hutan tempat hidupnya telah menjadi perkebunan sawit.

Alih-alih dijadikan pegawai, masyarakat setempat sudah tidak bisa bersaing dengan orang luar yang punya keterampilan lebih. Cerita-cerita demikian sampai ke telinga Yohanis hingga membuatnya khawatir.

“Jadi pegawai sangat susah. Tidak perlu masuk sini (sawit). Saya tidak mau. Nanti jadi masalah. Kita punya hutan ini sepenggal saja. Kalau hancur bagaimana? Pemerintah siap kasih makan?” ucap Yohanis.




Tiga pria dari Suku Yaben Simora berdiri di bawah Pohon Enau atau Aren (Arenga pinnata) yang menjadi penanda rumah leluhur mereka pada saat pemetaan partisipatif di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 26 April 2023. (Dok.Konservasi Indonesia)Tiga pria dari Suku Yaben Simora berdiri di bawah Pohon Enau atau Aren (Arenga pinnata) yang menjadi penanda rumah leluhur mereka pada saat pemetaan partisipatif di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 26 April 2023. (Dok.Konservasi Indonesia)

Dia paham masyarakat bisa kaya dan banyak uang jika hutannya dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Namun, itu semua hanya bisa dirasakan sejenak. Tidak abadi. Dia lebih memilih mempertahankan hutan tetap seperti saat ini. 

Yohanis, bersama masyarakat Suku Yaben lantas melakukan pemetaan partisipatif didampingi Konservasi Indonesia, Yayasan yang fokus pada pelestarian lingkungan. Pemetaan ini dilakukan untuk menentukan wilayah tempat hidup mereka secara lebih tertata.

Selama ini, Suku Yaben sudah tahu wilayahnya. Namun, tidak ada penanda. Pemetaan partisipatif dilakukan untuk membuat tanda-tanda tersebut, sehingga batas wilayah hidup mereka menjadi lebih jelas.

Pemetaan partisipatif yang dilakukan bersama Konservasi Indonesia menetapkan tempat penting berupa asal usul suku Yaben dan subsuku Simora, Demen serta Onipia. Kemudian, tempat penting yang merupakan sumber kehidupan.

“Saya bersyukur supaya kita sudah punya batas batas saat pemerintah datang nanti. Masyarakat ini nanti mau hidup di mana kalau bukan di hutan ini,” ucap Yohanis.




Apolos Mabruaru (kanan) dari Suku Yaben Simora mendampingi salah satu warga saat penamaan tempat penting yang menjadi variabel dalam pemetaan partisipatif di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 28 April 2023. (Dok.Konservasi Indonesia)Apolos Mabruaru (kanan) dari Suku Yaben Simora mendampingi salah satu warga saat penamaan tempat penting yang menjadi variabel dalam pemetaan partisipatif di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 28 April 2023. (Dok.Konservasi Indonesia)

Pemetaan partisipatif juga membuat Suku Yaben memiliki batas-batas wilayah adat secara tertulis. Tidak seperti sebelumnya yang hanya sebatas lisan. Ketika batas sudah disepakati bersama, konflik antarmarga atau subsuku jadi lebih mudah dihindari.

Yohanis mengaku air matanya jatuh saat pemetaan partisipatif dilakukan bersama Konservasi Indonesia. Pasalnya, dia menjadi tahu di mana tempat dulu leluhurnya tinggal di hutan. Selama ini, dia tidak pernah tahu.

“Saya bersyukur. Jatuh air mata kita. Tahu leluhur kita di kampung tua dulu sakit. Dimakan lintah. Saya ceritakan semua ke pemuda di sini,” ucap Yohanis.

Hasil pemetaan partisipatif nanti akan diajukan kepada Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Langkah selanjutnya bisa berupa pengakuan pemerintah daerah terhadap wilayah adat Suku Yaben di Distrik Konda.

Masyarakat Suku Yaben ingin agar ruang hidup mereka ditetapkan sebagai hutan adat dan memiliki legalitas dari pemerintah. Hanya itu yang bisa membuat mereka dan hutannya aman dari gempuran beragam kepentingan.

(bmw)


[Gambas:Video CNN]






Source link

Latest articles

154 Orang Tak Lulus SKD CPNS Unkhair Ternate – tandaseru.com

Tandaseru -- Universitas Khairun Ternate,...

Siap Amankan Kampanye, Begini Penekanan Kapolres Halmahera Utara ke Jajaran – HalmaheraPost.com: Cerdas Menginspirasi

Tobelo - Polres Halmahera Utara, Maluku Utara telah siap mengamankan tahapan kampanye Pemilu...

More like this