Jakarta, CNN Indonesia —
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dugaan Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe menerima fee proyek Rp19,2 miliar dengan kode ’01’.
Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (9/8), jaksa membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karyawan bagian keuangan PT Tabi Bangun Papua Mieke yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Lukas.
“Di BAP saudara saksi nomor 71 di paragraf terakhir: Selain itu, saya juga pernah mendapat cerita dari Nyoman alias Komang bahwa ia menyerahkan uang Rp150 juta kepada Dinas PU Papua terkait fee proyek peningkatan Jalan Entrop Hamadi, namun ditolak karena terlalu sedikit dan tidak sesuai kesepakatan sebesar Rp300 juta. Komang mendapatkan Rp150 juta dari Andri padahal saya sudah mengeluarkan uang Rp300 juta kepada Rijatono Lakka atau Andri atas perintah Rijatono Lakka untuk fee Dinas PUPR Papua,” tutur jaksa KPK membacakan BAP Mieke.
“Iya,” sahut Mieke membenarkan isi BAP tersebut.
Jaksa lantas mengonfirmasi pengeluaran uang tersebut turut dicatatkan Mieke sebagai fee. Mieke pun membenarkan.
“Terkait 01 siapa 01 ini? Apakah Gubernur Papua Pak Lukas Enembe pada saat itu? Istilah 01 ini kan saudara pakai dalam pencatatan?” cecar jaksa kemudian.
“Kemarin ceritanya Pak Tono [Rijatono Lakka] suruh, bilang, ‘Meike, bikin estimasi supaya kita tahu keuntungan dan kerugian proyek’. Jadi, saya pikir saya bilang pembagiannya siapa-siapa, Pak? Pak Tono sebut untuk Kadis, PPK, dengan 01,” tutur Mieke.
“Pernah tidak dijelaskan Pak Rijatono Lakka 01 yang dimaksud ini siapa?” lanjut jaksa.
“Pak Gub,” jawab Mieke.
“Saksi sampaikan saja. Pernah tidak disampaikan Pak Rijatono Lakka atau saudara tahu sendiri penjelasan dari PT Tabi Bangun Papua siapa?” tanya jaksa lagi.
“Pak Tono sering sebut 01 Pak Lukas,” tegas Meike.
Jaksa lantas membacakan BAP Mieke yang menyebut jumlah fee proyek untuk Lukas.
“Di BAP 124 ini saudara saksi membuat rincian ya, ini disampaikan bahwa total yang digunakan Rijatono Lakka untuk membayar kewajiban fee dengan kode 01 yang menurut keterangan Rijatono Lakka bahwa kode 01 diartikan Lukas Enembe selaku Gubernur Papua adalah sebesar Rp19.248.879.872 yang semuanya diambil secara tunai oleh saudara Rijatono Lakka sesuai keterangan saya sebelumnya bahwa pembayaran masuk ke rekening pemenang lelang selanjutnya saudara Rijatono Lakka meminta kembali kewajiban fee untuk kepentingan Lukas Enembe,” ucap jaksa.
“Sesuai keterangan saya sebelumnya, untuk pekerjaan yang dimenangkan oleh perusahaan saudara Rijatono Lakka seperti PT Tabi Bangun Papua, PT Tabi Anugrah Parmindo, termin pembayaran masuk lebih dulu ke rekening perusahaan, betul itu ya?” lanjut jaksa.
“Iya,” jawab Mieke.
Meike menjelaskan fee Rp19,2 miliar diberikan kepada Lukas dalam bentuk tunai.
“Diambil dari pencairan cek ya?” tanya jaksa mengonfirmasi.
“Iya,” ucap Meike.
“Baik, kemudian apakah permintaan itu dimintakan pada saat kapan? Apakah sebelum lelang atau sesudah tanda tangan kontrak atau bagaimana?” tanya jaksa lagi.
“Ada yang sebelum lelang, ada yang sesudah lelang. Tergantung Pak Tono,” jawab Meike.
Lukas didakwa menerima suap senilai Rp45,8 miliar dan gratifikasi sebesar Rp1 miliar. Tindak pidana itu dilakukan Lukas pada rentang waktu 2017-2021 bersama-sama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Papua 2013-2017 Mikael Kambuaya dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) 2018-2021 Gerius One Yoman.
Suap dan gratifikasi tersebut diberikan agar Lukas bersama-sama dengan Mikael dan Gerius mengupayakan perusahaan-perusahaan yang digunakan Rijatono Lakka dan Direktur sekaligus pemilik PT Melonesia Mulia Piton Enumbi dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.
Sementara itu, gratifikasi diterima Lukas dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua melalui Imelda Sun.
Atas perbuatannya, Lukas didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 huruf B UU Tipikor.
(ryn/isn)